TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Poin penting soal penggajian dan pengawasan jadi perhatian dalam pembahasan Ranperda tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan.
Ini karena pelanggaran masih terus terjadi. Bahkan Ketua Komisi IV DPRD Bali, Nyoman Parta sering terima laporan gaji di bawah UMK, jumlahnya kata dia seabrek banyaknya.
Parta usai memimpin rapat di Kantor DPRD Bali, mengatakan upah yang berlaku di Bali adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Meski UMK di Kabupaten Badung dan Denpasar sudah di atas UMP, rata-rata Rp 2,5 juta, namun dalam praktiknya, ada juga pekerja yang menerima bayaran Rp 1,7 juta.
“Saya dapat laporan banyak dikirimkan slip gaji oleh karyawan yang ada di Badung dan Denpasar itu Rp 1,6 juta dan Rp 1,7 juta seabrek itu. Banyak yang memberi upah di bawah UMK. Ada 50-an yang sudah masuk ke WA saya,” ungkapnya Rabu (12/6/2019).
Parta melanjutkan, di kabupaten lain lebih parah lagi. Di beberapa hotel di Ubud memberikan gaji Rp 1,6 juta, dan pemerintah membiarkan hal ini terjadi sudah sejak lama.
Parta menganggap pihak terkait di Kabupaten/Kota dan Provinsi tidak serius mengontrolnya.
Maka dari itu, pertama, menurutnya penting untuk membuat upah baru, yakni upah minimum sektoral atau skala upah.
Di sisi lain, banyak perusahaan-perusahaan besar yang sudah membayarkan gaji karyawannya sesuai aturan, yakni sesuai UMP atau UMK, namun sebenarnya perusahaan itu mampu memberikan lebih atau sesuai dengan upah sektoral.
Kedua, Parta menyoroti pentingnya pemberian upah untuk pekerja daily worker (DW) untuk pekerjaan yang hanya bersifat tertentu dan sementara.
“Tetapi di Bali sudah kacau ini. Semua pekerjaan boleh di-DW-kan. Masak hotel yang tidak hanya dibangun tiga bulan terus-terusan DW, dibiarkan saja,” tutur Calon Anggota DPR RI terpilih ini.
Ketiga, banyak perusahaan besar dan sudah populer yang bergerak di bidang suvenir juga tidak memberikan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan terhadap karyawannya.
Dalam ketentuan undang-undang seharusnya pegawai DW dan kontrak tetap mendapat tanggungan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Namun, faktanya dari 11 ribu perusahaan di Bali sangat minim yang memberikan BPJS ke karyawannya.
Keempat, pentingnya sertifikat budaya bagi pekerja di Bali. Hal ini kaitannya perlindungan terhadap tenaga kerja lokal.
“Dimanapun juga di seluruh dunia melindungi masyarakat lokalnya. Karena masyarakat lokal inilah penyangga budaya Bali. Kalau nanti hidupnya kembang kempis, bagaimana menjaga budaya. Kalau budayanya kembang kempis bagaimana turis akan datang. Ini merupakan satu kesatuan,” terangnya.
Parta secara khusus juga menyoroti mengenai poin soal kewajiban perusahaan di Bali menyiapkan orang Bali menjadi pemimpin perusahaan yang selama ini semakin menjadi-jadi dipegang oleh orang asing.
Dalam ranperda tersebut, poin ini juga menjadi perhatian agar dimasukkan dalam peraturan daerah tersebut.
“Nanti kita akan sidak perusahaan besar, saya berani dan pimpin itu,” imbuhnya.
Poin lain yang jadi perhatian adalah pengaturan hak untuk mendirikan unit atau serikat pekerja.
Ia menyebut dalam undang-undang bahasanya adalah ‘dapat’, namun dalam praktiknya seringkali tidak diijinkan perusahaan karena serikat pekerja dianggap mengganggu.
Pengamat: Outsourcing Sama Seperti Human Trafficking
Akademisi Universitas Mahasaraswati Denpasar sekaligus tim ahli DPRD Bali, DR I Wayan Gede Wiryawan mengatakan pada beberapa perusahaan di Bali sangat mudah ditemukan pekerja outsourcing.
Berdasarkan kajian akademik dan beberapa riset menyebutkan outsourcing, sama seperti tindakan human trafficking (perdagangan manusia).
Alasannya karena dalam outsourcing yang dijual adalah per kepala, bukanlah menjual jasa untuk melatih pekerja, contohnya seperti orang yang dulunya tidak profesional dilatih menjadi profesional dan memiliki keahlian tertentu.