Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), bukan berdasarkan perhitungan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Semenjak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, KHL tidak lagi jadi acuan dalam menetapkan besaran kenaikan UMP. Berdasarkan PP tersebut, kenaikan upah mengacu angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Seharusnya mengacu kepada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 dan pasal 89, harusnya (KHL) dipakai, lalu dewan pengupahan yang tripartit itu survei ke pasar. Tapi dengan PP 78 kan direduksi hanya melihat inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya Presiden KSPI Said Iqbal kepada detikFinance, Jumat (19/10/2018).
Baca juga: Imbas Buruh Minta UMP Naik 25%: Investor Bisa Cabut hingga PHK
Menurutnya, penetapan kenaikan upah harus mengacu pada KHL. Saat ini komponen KHL berjumlah 60 item. Pihaknya juga bakal mengusulkan agar item KHL ditambah menjadi 84.
“Kan sekarang 60 item. Kalau usulan KSPI 84 item. Tapi kita belum dengar usulan pengusaha berapa item KHL-nya,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pihaknya sudah melakukan survei kebutuhan hidup layak terhadap buruh di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Hasilnya, upah tahun depan selayaknya naik 20-25%. Tapi perhitungan itu baru mengandalkan 60 item KHL.
“Naik 20-25% dengan kisaran angka Rp 4,2 juta ampai Rp 4,5 juta ini hasil survei ya, bukan asal asalan, dengan meningkatkan kualitas item KHL,” katanya kepada detikFinance, Rabu kemarin (17/10/2018).
Survei tersebut mereka lakukan selama 3 bulan berturut-turut hingga Oktober ini. Kenapa kenaikannya sampai 25%, karena hasil akumulasi dari kenaikan upah yang selama ini dianggap terlalu rendah.