Jakarta – Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan rencananya akan direvisi, namun hingga saat ini belum juga berjalan. Menurut Kasubdit Pengawasan Norma Waktu Kerja, Waktu Istirahat (WKWI) dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), FX Watratan, rencana revisi tersebut sudah dibahas sejak 3 tahun lalu.
Lantas, apa masalahnya sehingga beleid tersebut belum juga direvisi?
“Kalau revisi UU 13 kan sudah lama dibicarakan. Tapi kan di setiap tahun itu beberapa jadi prolegnas (program legislasi nasional) di DPR RI. Hanya saja sampai saat ini kan belum sempat dibahas karena mungkin masih tarik-ulur,” tutur FX Watratan kepada detikFinance, Senin (1/7/2019).
FX Watratan menjelaskan masih tarik ulur maksudnya belum ada titik temu atau keselarasan antara kepentingan perusahaan maupun pekerja.
“Tarik-ulur artinya gini, artinya ini kan belum ketemu nih apa yang menjadi kepentingan pekerja dan kepentingan perusahaan, masih dicari yang pas,” ujarnya.
“Kan untuk memastikan anjuran itu betul-betul bisa mengakomodir kepentingan stakeholder dalam hal ini termasuk presiden, menteri, dan sebagainya. Sebelum itu harus ada kajian teknis, dan perlu harmonisasi terhadap stakeholder. Belum lagi dari DPR sendiri kan. Pokoknya (revisi itu) semua tahapan deh. Ketika kemudian dia sampai saat ini belum direvisi-revisi ya mungkin karena banyak agenda regulasi-regulasi lainnya yang harus menjadi prioritas,” sambung FX Watratan.
Menurutnya secara prinsip undang-undang ketenagakerjaan saat ini kalau dibilang kaku sebenarnya tidak juga, karena ketika pengawas turun ke lapangan, pengawas akan melihat situasional juga ketika melakukan pemeriksaan atau penegakan hukum.
Situasional yang dimaksud yakni tak langsung menempuh jalur hukum apabila ada laporan dugaan pelanggaran.
“Jadi tidak seperti misalnya, walaupun aturan tenaga kerja itu mengandung aspek pidana, tapi sebagai pengawas kalau turun ya turun. Tapi dia betul-betul memberikan kesempatan pada pengusaha untuk melaksanakan hak. Maka ketika hak dijalankan, sanksi pidananya bisa diabaikan,” terang FX.
Dia menambahkan terkait pelanggan Undang-Undang Ketenagakerjaan, laporan yang paling banyak diterima seputar masalah pengupahan dan jam kerja.
“Lebih banyak dari karyawan, perusahaan yang belum melaksanakan. Contoh dari upah yang belum standar upah minimum. Kasus juga berimbang sih sebenarnya. Upah minimum dan jam kerja itu berimbang. Dari upah yang tidak sesuai atau jam kerja di atas jam kerja normal tetapi tidak dikasihkan uang lembur,” tutur FX Watratan.